(Cerita Rakyat Gorontalo)
Dahulu kala di daerah Limboto, Gorontalo, terdapat sebuah mata air yang jernih dan dingin. Mata air ini jarang dijamah oleh manusia karena terletak di tengah-tengah hutan yang lebat. Mata air inilah yang biasa didatangi oleh para bidadari dari kayangan untuk mandi. Mata air ini bernama Tupalo.
Pada suatu hari turunlah seorang jejaka dari kayangan, ia sangat tampan dan perkasa. Ia bernama Jilumoto, yang artinya “seseorang yang menjelma menjadi manusia”. Ketika menyaksikan bidadari yang mandi di Tupalo, ia menyembunyikan sayap salah seorang dari mereka. Ternyata sayap itu milik seorang bidadari yang paling tua di antara yang lainnya yang bernama Mbui Bungale. Saat mengetahui bahwa sayapnya hilang, Mbui Bungale tidak dapat kembali ke kayangan. Selanjutnya ia bertemu dengan Jimuloto, setelah saling berkenalan, Jimuloto mengajaknya untuk menikah dan tinggal di bumi. Akhirnya mereka pun menikah. Mereka kemudian memutuskan untuk mencari tempat tinggal dan lahan untuk bercocok tanam. Akhirnya mereka menjumpai sebuah bukit yang mereka beri nama Hantu lo Ti’opo atau “bukit kapas”. Di bukit inilah mereka mengolah tanah dan menanam aneka tanaman yang dapat dimakan.
Suatu ketika Mbui Bungale mendapat kiriman dari kayangan, yaitu sesuatu yang disebut Bimelula atau mustika sebesar telur itik. Mbui Bungale mengambil Bimelula itu dan kemudian menyimpannya pada mata air Tupalo, tempat biasanya ia mandi, dan ditutupnya dengan sebuah tolu (tudung). Pada suatu hari ada empat pelancong yang berasal dari bagian Timur tersesat ke tempat itu dan menemukan mata air tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan dingin, mereka segera berendam di sana, saat ada di air mereka melihat sebuah tolu terapung-apung di atas air. Mereka penasaran dan berusaha mengambilnya. Namun tiba-tiba terjadi badai dan angin topan di sana, hujan pun turun dengan sangat deras. Dunia menjadi gelap gulita, mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi, lalu dengan sekuat tenaga mereka berusaha keluar dari sana dan mencari tempat yang aman.
Setelah badai reda, hujan pun berhenti. Mereka kembali ke mata air untuk melihat apa yang sedang terjadi. Mereka melihat tudung itu masih terletak di tempatnya semula. Dengan penuh keheranan mereka kembali mendekati tudung itu untuk mengangkatnya, tetapi sebelumnya mereka meludahi tudung itu dengan sepah pinang. Setelah melakukan hal itu, mereka tidak menjauh dari mata air, tetapi mengintip dan ingin tahu siapa pemilik tudung itu. Tak lama kemudian datanglah Mbui Bungale dengan suaminya bermaksud menjemput Bimelula yang tertutup dengan tudung itu.
Ketika Mbui Bungale mendekati tudung, ia dihadang oleh empat pelancong yang tak dikenalnya itu. Mereka kemudian berkata, “Wahai kalian berdua, siapakah kalian sebenarnya, untuk maksud apa kalian mendatangi tempat ini?”
“Saya Mbui Bungale, dan ini suami saya Jilumoto, kami bermaksud menjemput mustika dalam tudung itu.” jawab Mbui Bungale.
Keempat orang itu dengan lantang menjawab, “Tidak seorangpun yang kami ijinkan menjamah tempat ini, apalagi mengambil barang-barang yang ada di sini, tempat ini adalah milik kami.”
Mbui Bungale balik bertanya,, “Apa buktinya bahwa tudung itu milik kalian?”
“Lihatlah sepah pinang di atasnya, inilah buktinya,” jawab salah seorang pelancong itu.
Mbui Bungale hanya tersenyum dan berkata, “Jika kalian benar menguasai mata air dan tudung itu, cobalah kalian besarkan mata air ini menjadi danau. Kuingatkan kepada kalian bahwa mata air ini diturunkan oleh Yang Maha Kuasa untuk digunakan oleh manusia yang baik budi pekertinya, bukan orang-orang tamak dan rakus. Tanah ini berada dalam lindunganNya, oleh karena itu jalah dan jangan engkau cemarkan. Jika kalian benar-benar pemilik mata air ini, cobalah perluas airnya, silahkan keluarkan ilmu-ilmu kalian.”
Pertama kali yang memperagakan kesaktiannya adalah orang yang dianggap pemimpin dari mereka berempat. Sambil membentangkan tangannya dengan lantang ia berkata, “Oh, mata air kami! Meluaslah kalian….” demikian pemimpin rombongan itu memperagakan kesaktiannya, tapi tak terjadi apapun di tempat itu. Air tak juga meluas, angin pun tak bergerak.
Mbui Bungale kembali tersenyum dan berkata dengan mereka berempat, “Ayo keluarkan kekuatan kalian, buktikan jika mata air ini milik kalian. Atau kalian telah menyerah dan mengaku kalah?”
Pemimpin rombongan itu berkata dengan nafas tersengal-sengal, “Jika kamu pemilik tempat ini, maka tunjukkanlah kemampuanmu!”
Mbui Bungale kemudian bersedakep dan mengarahkan tangannya ke arah mata air sambil berdoa, “Tuhanku, berikanlah aku kekuatan, Luaskan dan besarkan mata air ini, mata air para bidadari…..membesarlah…..!” Tak lama kemudian terdengar suara air bergemuruh, tanah menggelegar, perlahan-lahan mata air itu melebar dan meluas. Mbui Bungale dalam sekejap telah berada di atas pohon, sementara keempat orang itu terpana kagum melihat keajaiban itu.
Air semakin tinggi dan mulai mencapai tempat keempat orang yang berada di atas pohon kapak, dengan berteriak mereka memohon ampun pada Mbui Bungale, wanita itu kemudian berkata, “Masihkah kalian mengakui tempat ini sebagai milik kalian?” Keempat pelancong itu minta maaf kepada Mbui Bungale dan mempersilahkannya untuk mengambil tudung mustika itu.
Mbui Bungale mengambil tudung itu yang setelah dibukanya berisi sebuah telur, dan ajaib saat itu telur tersebut menetas, di dalamnya terdapat seorang bayi perempuan cantik yang konon akan menjadi Raja Limboto. Gadis itu dikenal dengan nama Tulango Hula, yang artinya cahaya bulan. Setelah itu Mbui Bungale berencana membawa bayinya pulang dan mengajak keempat pelancong itu, sejenak ia melayangkan pandangan kembali ke danau, di sana dilihatnya lima biji buah terapung-apung di air, ia mengambil dan mencium buah yang ternyata jeruk itu. Sejak saat itu danau tersebut diberi nama Bulalo Lo limu o tutu yang artinya “danau dari jeruk kayangan”, dan dikenal sebagai Danau Limboto.
Sumber:
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)